PERJUANGAN
ANAK PERANTAUAN
Karya : Tri S. Budi
Pintar, tampan,
berwibawa dan sederhana ialah Budi. Tidak hanya pintar dalam hal belajar tetapi
Budi juga pintar dalam hal agama seperti pintar mengaji, tafsir dan sebagainya.
Budi hidup dalam lingkup keluarga sederhana. Bapaknya bernama Darmadi yang
sehari-hari bekerja sebagia buruh sedang ibunya bernama Titik. Setiap hari Bu
Titik membantu sang suami dengan berjualan gorengan. Budi mempunyai tiga orang
adik yang masih kecil-kecil. Budi tidak pernah mengeluh dan menyerah saat
dilahirkan sebagai orang miskin. Pengumuman kelulusan pun telah usai. Budi
mendapatkan beasiswa untuk kuliah di pulau seberang. Budi awalnya tidak setuju
dan hatinya kurang nyaman. Berkat motivasi dari ustad Bahrun, hati Budi mulai
tergugah. Tetapi orang tua Budi masih tidak setuju. Terutama Ibunya, ia selalu
memikirkan bagaimana nanti Budi dalam hidupnya di sana. Jauh dari sanak saudara
dan tidak ada orang yang kenal. Atas bantuan pengertian yang diberikan oleh
sang suami, Bu Titik pun luluh hatinya dan merestui Budi untuk kuliah di pulau
seberang.
Fajar mulai menyingsing
dari kejauhan. Budi telah bersiap di dermaga bersama kedua orangtuanya. Budi
berpamitan sambil mencium kaki kedua orangtuanya sebagai tanda meminta doa agar
selamat sampai di jalan dan bisa segera lulus dengan nilai yang memuaskan serta
kembali ke tanah tempat lahirnya. Suasana saat itu cukup mengharukan, banyak
air mata berjatuhan. Hening tanpa suara kala itu.angin keras mulai menyapu di
pinggiran dermaga sejenak suara klakson kapal itu berbunyi. Tanda kapal mau
berangkat dan juga tanda perpisahan antara seorang anak dengan orangtuanya
untuk mengejar impiannya.
Dengan modal nekat dan
keyakinan Budi pun sampai di tempat tujuan. Setelah menempuh beberapa jam di
kapal yang sangat melelahkan. Tapi Budi tidak merasakan kelelahan karena Budi
sudah terbiasa dengan situasi seperti ini. Ia bingung harus tinggal dimana. Ia
singgah di masjid dekat dari tempat kuliahnya. Setelah shalat dhuhur ia tidur
di serambi masjid untuk sekadar menghilangkan kebingungan mau tinggal dimana.
Baru memejamkan mata beberapa jam, Budi dibangunkan oleh seorang yang tidak tau
entah siapa. Setelah menjelaskan panjang lebar, ternyata beliau adalah ustad
Amri. Ustad di masjid ini. Dan beliau bersedia memberikan tumpanga kepada Budi
asal Budi berkenan untuk membantu mengurusi masjid. Seperti ngepel,
mempersiapkan kalau akan mau shalat dan menjadi guru ngaji.
“Kalau tidak setiap
jam, saya bisa Pak. Soalnya saya juga harus sekolah.” , kata Budi.
“Iya dek. Tidak setiap
jam kok.” , sahut sang ustad.
“Siap Pak.”, jawab
Budi. Sang ustad hanya membalasnya dengan senyuman.
Di sore hari setelah
pulang dari tempat kuliah, Budi mengajarkan membaca alquran kepada anak-anak
kecil di sekitar masjid. Walaupun ia tidak digaji tetapi ia merasa senang.
“Ilmu agama sangat
berguna ternyata. Bisa bantu menyelesaikan masalah dan menambah persaudaraan.”
, celoteh Budi dalam hatinya.
Ia berpikir, sudah
diberi tumpangan itu sudah cukup. Untuk masalah gajian nanti saja biar Allah SWT
yang membalas kebaikannya.
Lambat tahun Budi sudah
diwisuda da mendapat gelar sebagai sarjana. Dengan nilai yang memuaskan, Budi
bersujud syukur mendengar berita itu. Begitu kangennya dengan kedua
orangtuanya. Ia berpamitan dengan ustad Amri dan juga tetangganya. Ustad Amri
berpesan agar sampai lupa dengan kampung ini dan tetap rendah hati. Begitu
mulia hidup Budi. Walaupun ia sedang berjuang di pulau seberang untuk menuntut
ilmu tetapi ia tetap berguna di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar